Thursday 27 December 2012

Diskriminasi di Dunia Pendidikan


Tema : PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME.


Pada masa demokrasi sekarang ini, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran mengenai HAM yang semakin kompleks, baik pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM ringan. Misalnya pada kasus diskriminasi pendidikan yang dialami anak di Sumut. Berdasarkan data dari Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP), sepanjang tahun 2011 terdapat 15 kasus diskriminasi terhadap anak di bidang pendidikan. Kasus-kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan tersebut terutama berkenaan dengan penerimaan siswa baru maupun akses untuk bersekolah. Di Kota Padang Sidempuan misalnya, ada anak yang ditolak mendaftar di sekolah menengah kejuruan karena cacat kaki. Pihak sekolah menyatakan penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota.
Kondisi ini merupakan pelanggaran pada hak anak dalam pendidikan. Semestinya UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga UU Sistem Pendidikan Nasional menjamin tidak ada diskriminasi dalam pendidikan.
Ironisnya, dalam kasus Sumut diskriminasi dalam bidang pendidikan tidak saja terjadi terhadap anak-anak cacat, tapi juga terhadap orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya biaya. Terlebih untuk mengakses sekolah-sekolah yang mengubah statusnya menjadi Rintisan Sekolah Berstatus Internasional (RSBI). Tidak hanya itu, kasus diskriminasi dalam hal pendidikan juga banyak sekali ditemukan di Indonesia. Sebut saja Immi, gadis kecil yang mendaftar ke SD Don Bosco 2, Pulomas, Jakarta Timur pada bulan Februari lalu.  Sebelumnya diberitakan, Immi ditolak masuk sekolah karena ayahnya yang seorang penulis terinfeksi HIV/AIDS. Immi tidak terinfeksi HIV seperti ayahnya, namun ia tetap menerima diskriminasi karena menjadi anak seorang HIV. Immi yang baru saja diterima di SD Don Bosco Kelapa Gading, tiba-tiba saja ditolak dan penerimaannya dibatalkan hanya melalui pesan singkat (SMS). Pihak sekolah beralasan membatalkan keputusan menerima Immi karena beberapa calon orangtua siswa menolak keberadaan Immi.
Kemudian kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia bagian Timur, dilakukan oleh pemerintah sendiri. Misalnya, dalam ujian nasional setiap tahunnya di Indonesia bagian Timur mendominasi tingkat kelulusan yang rendah dibanding Indonesia bagian Barat. Hal ini dikarenakan sangat minimnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk para siswa di tempat tersebut.
Saat ini, banyak dari kita yang tinggal di kota,sangat di perhatikan sekali dalam bidang pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Tapi coba kita bayangkan sejenak, bagaimana dengan kondisi proses belajar mengajar di Indonesia bagian Timur yang sangat dianaktirikan oleh pemerintah kita. Sebenarnya, potensi anak bangsa Indonesia sangat besar asal mereka di asah secara baik sehingga kemampuan yang ada pada mereka bisa terus dikembangkan dan terarah.
Manusia diciptakan oleh Tuhan lebih sempurna dari makhluk-makhluk lainnya. Namun demikian, bukanlah menjadi masalah jika ada beberapa diantara mereka yang dilahirkan dengan kondisi cacat atau lahir secara premature. Di Indonesia, baik orang yang dilahirkan secara normal maupun cacat memiliki persamaan hak di mata hukum. Hak-hak tersebut tercantum dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999, salah satunya adalah hak untuk memperoleh keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. Dalam UU HAM itu juga disebutkan mengenai hak anak, yaitu setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Pada setiap tahun ajaran baru, dapat kita saksikan pemandangan menarik; penerimaan siswa baru dari tingkat TK-SLTA, juga mereka yang berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan menengah ke atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa melanjutkan pendidikan. Dengan NEM yang mereka miliki serta dana yang tersedia, mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.
Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.
Kita semua pasti merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur. 
Diskriminasi pendidikan yang terjadi di negeri ini tidak hanya disebabkan oleh penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, tetapi juga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Lebih lanjut, praktik diskriminasi pendidikan dapat dilihat dari beberapa aspek berikut ini.
·         Pertama, diskriminasi pembangunan pendidikan antara pedesaan dan perkotaan.  Rendahnya fasilitas pendidikan di pedesaan sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi. Anak-anak yang sekolah di pedesaan harus ikhlas dengan gedung dan fasilitas yang jauh dari harapan dan tak memenuhi standar nasional pendidikan.
Jangankan untuk menikmati fasilitas pendidikan modern seperti komputer dan internet, untuk belajar saja terkadang mereka harus kepanasan terkena terik matahari bahkan harus libur tatkala hujan mengguyur. Hal ini berbanding terbalik dengan fasilitas belajar di perkotaan yang serba lengkap dan serba mewah.
Kedua, hadirnya program Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasioanal (SBI) dengan fasilitas lengkap, namun dengan biaya yang cukup tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh semua masyarakat. Pendidikan berstandar nasional dan internasional seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki prestasi cemerlang.
Namun karena biaya yang tak terjangkau, banyak anak berprestasi dari keluarga kurang mampu tak dapat menikmati sekolah bergengsi tersebut. Maka tak heran jika sekolah bergengsi yang diprogramkan pemerintah belum mampu menghasilkan out put yang cerdas dan handal sesuai dengan namanya sekolah berstandar internasional.
·         Ketiga, diskriminasi antara pendidikan agama dan umum. Pendidikan agama baik madrasah maupun pesantren merupakan bagian integral dari pendidikan nasional yang memiliki tujuan yang sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi sayangnya madrasah dan pondok pesantren terkesan dianaktirikan. Bahkan di beberapa daerah di kabupaten tidak memiliki madrasah tempat anak negeri ini mendalami ajaran agamanya sebagai wadah untuk membina akhlak dan budi pekerti mulia.
·         Keempat, pendidikan di Indonesia masih tercemar  oleh virus KKN dan masih bersifat pragmatis, sehingga pendidikan yang layak hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki segudang materi dan sederet keluarga yang sedang berkuasa. Berdasarkan angka partisipasi murni nasional masih banyak anak negeri ini yang belum dapat menikmati pendidikan. Angka partisipasi murni untuk tingkat SD sudah cukup tinggi dengan angka 94,06 persen untuk laki-laki dan 93,91 persen untuk perempuan. Namun untuk tingkat SLTP hanya 66,36 persen untuk laki-laki dan 67,62 persen, bahkan yang lebih memprihatinkan adalah untuk tingkat SLTA hanya 44,98 persen untuk laki-laki dan 44,51 persen untuk perempuan. Ini berarti lebih dari 50 persen anak negeri ini belum dapat mengenyam pendidikan tingkat atas/SLTA apalagi untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak anak yang tak dapat menikmatinya.
·         Kelima, praktik diskriminasi pendidikan juga terjadi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran selalu berorientasi pada aspek kognitif saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik selalu diabaikan. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran hanya untuk menguji kecerdasan kognitif belaka, sehingga siswa hanya berusaha mengasah kemampuan kognitifnya saja dan mengabaikan kecerdasan lainnya. Maka tak heran kalau di negeri ini banyak generasi yang pintar secara kognitif tapi tak bermoral. Banyak anak negeri yang pandai bicara tapi tak mampu berbuat. Diskriminasi pendidikan yang terjadi di semua aspek dan tingkatan akan memberikan dampak negatif terhadap kemajuan pendidikan nasional dan akan memperburuk citra pendidikan di mata dunia. 
Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang mampu menjadi penggerak.
Masalah diskriminasi pendidikan merupakan cerita lama yang kurang diperhatikan oleh kita sebagai sesama orang Indonesia. Karena permasalahan ini merupakan kunci utama dari kualitas dan kuantitas bangsa Indonesia kedepan, untuk bersaing didunia Internasional. Banyak hal yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan, terutama masalah diskriminasi pendidikan. Pemerintah mengeluarkan ketetapan-ketetapan untuk melindungi warga negaranya terhadap tindak diskriminasi agar tidak terjadi marginalisasi antara kelompok mayoritas dan kelompok yang dianggap minoritas.
Namun pada kenyataannya, segala ketetapan yang dibentuk oleh pemerintah tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Masih ada masalah diskriminasi yang terjadi di bagian Indonesia, baik di daerah terpencil maupun di kota-kota besar seperti di Jakarta. Hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan perhatian khusus dari pihak yang berwenang, sehingga oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjadi bebas melakukan pelanggaran-pelanggaran yang menentang HAM, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.
Sungguh sangat disayangkan, adanya iklan ‘Ayo Sekolah’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya atau berbagai alasan yang tidak bisa dibenarkan dalam segi hukum. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa terkecuali.

Source:

ICT dalam Mengurangi Kemiskinan


Tema : Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan

Fenomena paradoks melanda negara berkembang, pertumbuhan ekonomi yang dianggap cukup tinggi tetapi masih memiliki banyak masyarakat miskin. Apa penyebabnya? Beberapa pakar ekonomi berpendapat penyebab utama dari kejadian ini adalah tidak meratanya kesejahteraan yang dirasakan oleh rakyat, dimana terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.
Oleh karena itu, diperlukan terobosan baru agar rakyat dapat lebih merasakan dan menikmati pencapaian hasil-hasil pembangunan. Salah satu terobosan itu melalui program pemberdayaan rakyat lewat pemanfaatan teknologi informasi.
Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan peluang memajukan atau meningkatkan taraf hidup rakyat terutama menanggulangi masalah kemiskinan lewat pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT), berikut uraian peranan/kontribusi ICT dalam beberapa cerita :

·         Pertama : Dengan ICT membuka ruang komunikasi dan transaksi e-commerce yang memperkenalkan sumber daya alam di suatu wilayah dan produk-produk agrobisnis yang dikelola oleh masyarakat miskin, sehingga pemerintah, pengusaha, dan pemilik modal dapat melakukan berbagai kerjasama untuk mendorong, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat miskin.
·         Kedua : Bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin sering salah sasaran, atau bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak seperti yang diharapkan. Salah satu kunci permasalahan ini adalah komunikasi yang kurang antara si pemberi bantuan dan yang memohon/memerlukan bantuan. Dengan ICT, maka pemerintah dapat dengan segera membuka ruang komunikasi dengan penduduk setempat untuk mengetahui apa yang menjadi masalah utama, bantuan apa yang segera perlu diberikan, dan juga mengawasi apakah bantuan sudah sampai di sasaran yang dimaksud. Dengan ICT, kontrol si pemberi bantuan dapat mudah dilaksanakan dan aspirasi masyarakat miskin dapat mudah tersalurkan, sehingga persoalan korupsi, atau bentuk penyelewengan terhadap bantuan dapat diminimalkan.
·         Ketiga : Pada perdagangan tradisional (tanpa ICT), persoalan yang sering terdengar adalah ketidakadilan dalam perdagangan khususnya akses informasi yang sepihak atau lebih menguntungkan para pengusaha besar. Pedagang kecil kekurangan pengetahuan dan akses pasar dan harga, sehingga mereka terpinggirkan. Dengan ICT, partisipasi dan saling tukar pengetahuan dan informasi dapat mudah dilakukan termasuk akses informasi pasar.
·         Keempat : Dengan kemajuan industri ICT dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat bekerja dalam industri itu. Memang kendala utama adalah rendahnya pendidikan dan keahlian dari masyarakat miskin. Tetapi bila melihat kemajuan di Italia, dimana perusahaan turut memberikan kontribusinya untuk mensejahterakan masyarakat dengan cara menarik masyarakat miskin untuk bekerja di industri, dan dalam jangka pendek diberikan pelatihan dan dalam jangka panjang disekolahkan. Ini merupakan terobosan untuk mengatasi masalah banyaknya masyarakat miskin yang sulit mendapatkan pekerjaan karena rendahnya pendidikan. Kemajuan industri ICT tentu akan berpengaruh langsung pada industri non-ICT yang memanfaatkan teknologi informasi. Ini berarti, kemajuan industri ICT akan mendorong kemajuan industri non-ICT, sekaligus memberikan kesempatan yang lebih besar dalam hal lapangan kerja bagi masyarakat miskin.
·         Kelima : Grameen Bank adalah contoh yang terbaik untuk memperlihatkan suatu institusi yang menjadi pioner dalam pemberdayaan masyarakat miskin melalui ICT. Grameen Bank di Bangladesh memiliki program mobile telephone disebut Grameen Phone dan menguasai 70% pasar, lebih jauh lagi, Grameen Bank mengembangkan Internet Service Provider yang menyediakan saluran internet di tiap kota di Bangladesh, dan juga dikembangkan Grameen Software dan Grameen Education untuk pendidikan Teknologi Informasi dalam mengembangkan sumber daya manusia yang menguasai teknologi. Penghasilan yang diperoleh Grameen Bank dari semua usaha di atas tentunya untuk membantu masyarakat miskin agar dapat lebih meningkat atau lebih berdaya.
·         Keenam : Dengan ICT, dapat dibangun hubungan dan kerjasama antar usaha kecil dan menengah yang melibatkan masyarakat miskin dalam suatu industri tertentu. Tentunya kerjasama ini dapat mudah terjadi apabila terjalin komunikasi. Suatu industri dapat memberdayakan masyarakat miskin untuk memproduksi suatu produk tertentu misalnya kerajinan tangan, lalu dipasarkan oleh perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran, untuk distribusinya ditangani oleh perusahaan yang bergerak di bidang distribusi, untuk penjualan produk kerajinan tangan ke luar negeri ditangani oleh perusahaan yang bergerak di bidang ekspor. Hubungan atau kerjasama ini membentuk satu kekuatan yang hanya dapat terjadi apabila perusahaan-perusahaan dapat saling mengenal. Oleh karena itu, dengan ICT hubungan ini dapat dipermudah.
·         Ketujuh : Dalam program kesehatan untuk kaum miskin lewat ICT, telah terbukti pada satu cerita dimana seorang perawat di suatu daerah terpencil dengan menggunakan kamera digital yang terhubung ke internet dapat merekam gejala penyakit pasien, lalu mengirimkannya ke dokter yang terdekat, untuk selanjutnya dilakukan diagnosa dan pengobatannya dapat diberitahukan kepada perawat itu lewat jalur internet.
·         Kedelapan : Dengan ICT, banyak orang dapat melakukan komunikasi dengan mudah saling bertukar pengetahuan mengenai cara mengelola usaha, atau bercocok tanam, atau menangkap ikan, dan pengetahuan yang lainnya, yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Dengan ICT, banyak orang dapat memperoleh informasi mengenai lowongan kerja atau mempertemukan antara pekerja dan pekerjaan. Dengan ICT, memungkinkan orang untuk mendapatkan informasi mengenai potensi suatu daerah, dan kekurangannya.
Dari kontribusi ICT dalam mengurangi kemiskinan seperti yang diuraikan di atas, tentunya dapat terlaksana apabila pemerintah di suatu negara punya komitmen untuk mengembangkan ICT dan membuat berbagai kebijakan termasuk pembangunan infrastruktur ICT sehingga masyarakat khususnya masyarakat miskin dapat merasakan manfaat ICT dan lebih diberdayakan.
Kontribusi sektor ICT dalam Pertumbuhan Ekonomi
Pengalaman di berbagai negara membuktikan Information and Communication Technology (ICT) telah memainkan peranan yang penting, baik sebagai sektor produksi-ICT maupun sektor pengguna-ICT. Kebijakan ekonomi setiap negara juga telah mengalami pergeseran paradigma dari semula mengandalkan pada sumber daya alam, kini bergeser pada ekonomi baru atau lazim disebut dengan information economy, dan menentukan keunggulan suatu negara dalam berkompetisi di arena global. Bila peran penting ICT dikaitkan dengan upaya menjadikannya tulang punggung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka peningkatan perekonomian seperti halnya di Indonesia melalui pemanfaatan ICT tidak akan maju dengan cepat bila tidak didukung oleh seluruh stakeholder terkait yaitu Pemerintah, Dunia Usaha, Masyarakat.
Kontribusi ICT pada pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial telah mendapat perhatian besar pada beberapa tahun belakangan ini, terutama pada isu mengenai “ekonomi baru”. Sektor produksi-ICT dan sektor pengguna-ICT amat beragam, antar dan di dalam suatu negara. Fokusnya lebih banyak diberikan pada debat pengambilan keputusan oleh pemerintah, kurang melihat efeknya pada kurang waktu jangka panjang.

Ada 3 (tiga) efek dari pemanfaatan ICT dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu:
  • pertama : Investasi ICT dalam berbagai sektor membantu peningkatan produktifitas tenaga kerja.
  • kedua : Kemajuan teknologi di dalam memproduksi barang-barang teknologi tinggi memberikan kontribusi untuk kemajuan sektor ICT
  • ketiga : Penggunaan yang lebih meningkat dari ICT membantu perusahaan untuk melakukan efisiensi secara menyeluruh.

Studi di beberapa negara menunjukkan investasi dalam sektor ICT mengalami kecepatan pertumbuhan didorong oleh perluasan pasar ke negara-negara yang belum mampu mengembangkan ICT. Sebagai contoh, negara Jepang dan Amerika adalah negara dengan kecepatan pengembangan teknologi maju yang memberikan kontribusi kuat pada pendapatan nasional mereka.
Perkembangan riset dalam sektor ICT mendorong kemajuan komputer dan telekomunikasi sehingga menarik banyak investor dan perusahaan baru dalam sektor produksi-ICT. Hal ini membuat persaingan semakin ketat dan harga produk ICT menjadi rendah, sehingga terjadi peningkatan pemakaian produk ICT secara meluas dan mempengaruhi pertumbuhan produktifitas.
Sektor produksi-ICT merupakan sektor yang menjadi daya tarik bagi beberapa negara seperti Jepang. Hal ini mendorong perubahan teknologi dalam pasar yang cepat. Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan dalam bidang jasa ICT seperti jasa konsultan ICT, jasa training dan jasa pengembangan software. Tidak banyak negara yang menfokuskan pada sektor produksi-ICT, hal disebabkan oleh tuntutan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Negara Jepang adalah salah satu negara dengan semangat nasionalismenya mau membangun SDM-nya untuk pengembangan teknologi. Hasilnya, saat ini Jepang menjadi salah satu negara yang terbesar memberi perhatian dalam sektor produksi-ICT yang ditandai dengan banyaknya riset yang dilakukan dan memperoleh manfaatnya dalam menumbuhkan ekonomi mereka.
Alasan lain mengapa tidak banyak negara yang bergelut di sektor produksi ICT adalah dibutuhkan anggaran yang besar untuk entry cost dari proyek-proyek penelitian untuk pengembangan ICT. Sebagai contoh, Amerika dalam mengembangkan semi-conductor di tahun 1999 membutuhkan dana sebesar 1.2 milyar dollar Amerika. Ini berarti entry cost (first cost) memang terbilang tinggi tetapi ketika pengembangan semi-conductor itu telah selesai maka untuk memproduksi/memperbanyak semi-conductor yang baru memerlukan biaya relatif lebih rendah, dan tentu hal ini memberikan keuntungan yang besar bagi Amerika terutama ekspor ke luar negeri.
Berbeda halnya dengan sektor produksi-ICT, dalam sektor pengguna- ICT lebih banyak negara yang bergelut di sektor ini dan memperoleh manfaatnya. Sektor jasa keuangan dan bisnis di dunia adalah sektor pengguna ICT yang banyak menggunakan produk teknologi tinggi untuk menefesienkan pekerjaan atau meningkatkan produktifitas tenaga kerja.
Perkembangan industri di sektor pengguna-ICT dipengaruhi pula oleh proses globalisasi yang ditandai dengan era keterbukaan informasi dan perkembangan ilmu dan teknologi. Globalisasi ini juga menimbulkan tuntutan terhadap peningkatan produktifitas kerja agar dapat berkompetisi di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat. Peranan ICT di berbagai sektor memberikan energi positif untuk meningkatkan profit suatu perusahaan dan secara makro untuk meningkatkan ekonomi suatu bangsa.
Dalam perkembangannya, ICT digunakan untuk mendukung supply-chain secara terpadu yaitu jaringan kerjasama antar perusahaan untuk menawarkan suatu produk sampai ke tangan konsumen, hal ini memberikan nilai tambah atau nilai bisnis bagi pelaku bisnis. Kontribusi sektor produksi-ICT dan sektor pengguna-ICT di beberapa negara telah membuktikan hasil yang mendorong pertumbuhan ekonomi, diantaranya pembukaan lapangan kerja, peningkatan produktifitas tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus penanggulangan kemiskinan.


Beda di KOTA dan di DESA


Tema: Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan

Sering dengar dalam suatu media ataupun saat kita SD dalam pelajaran Kewarganegaraan, bahwa kita dalam harus melakukan sosialisasi dalam masyarakat yang ada dilingkungan. Namun kita sendiri kadang kurang paham apa itu sebenarnya masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok manusia atau individu yang memiliki hubungan baik secara keseluruhan maupun dengan cakupan wilayah. Dari pengertian diatas dapat kita bagi menjadi dua, yaitu pengertian sempit dari masyarakat bahwa masyarakat sekelompok individu yang berada dalam suatu wilayah tertentu dan dalam arti luas bahwa masyarakat kumpulan individu yang memiliki hubungan tanpa memperhatikan wilayah dan tertori. Tentunya baik dalam arti sempit maupun arti luas Masyarakat memiliki syarat tertentu diantaranya :
• Masyarakat harus merupakan kumpulan individu atau kelompok
• Individu-individu dalam masyarakat harus saling berhubungan

Kota dan Desa
Sekarang bila kita lihat dalam arti sempit bahwa masyarakat itu terjadi akibat dalam suatu wilayah berarti dalam kehidupan yang rasakan bahwa masyarakat terbagi menjadi 2 yaitu Masyarakat Kota dan Masyarakat Desa. Sekarang yang dipertanyakan apa perbedaan dari kedua Masyarakat ini, apakah masyarakat kota menggunakan mobil sedangkan masyarakat desa menggunakan delman atau dari segi penampilan dimana masyarakat kota menggunakan baju berlapis-lapis sedangkan masyarakat desa hanya satu lapis saja.
Ternyata kehidupan desa maupun kota tidak dilihat dari alat transportasi atau tampilannya, namun dari kultur kehidupannya yang sangat kita sadari. Dalam post “KEDUDUKAN YANG SAMA PADA RUANG YANG BERBEDA” saya pernah ulas sedikit perbedaan kultur kehidupan kota dengan desa. Kehidupan Kota memiliki masyarakat yang berkultur sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Individu-individu

Masyarakat Kota
Dalam masyarakat kota akan melakukan sosialisi apabila ada suatu hal yang dibutuhkan seperti mengurus KTP atau surat-surat penting lainnya tentunya dengan begitu kita akan jarang menemui tempat-tempat umum ramai oleh masyarakat seperti contoh dalam masjid atau mushola. Kalau kita lihat dalam masjid atau mushola yang ada dikota yang ada adalah orang-orang tertentu saja dan berkepentingan seperti DKM atau pengurus masjidnya sedangkan masyarakatnya lebih sibuk dengan urusannya masing-masing bahkan terkadang urusan agama sudah tidak menjadi prioritas lagi.
Selain itu karena mobilitas orang perkotaan yang dibilang tinggi maka sosialisasi lingkungan agak terabaikan sehingga kadang kita menemui orang-orang yang tidak peduli dengan lingkungannya bahkan dengan tetangganya sendiri yang tinggal disebelahnya. Walaupun masyarakat kota kurang bersosialisai namun mereka sangat menghormati perbedaan dan privasi. Masyarakat kota juga biasanya menyelesaikan masalah dengan cara pendekatan tanpa perlu membawa masa.
Berbeda dengan kehidupan masyarakat kota, masyarakat desa memiliki kultur sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya. Masyarakat Desa sangat aktif bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga apabila terjadi suatu masalah dalam lingkungan dengan cepat seluruh masyarakat akan mengetahui hal tersebut, hal ini juga terkadang berlaku pada masalah seseorang masyarakat. Tempat-tempat umum ramai dengan penduduknya seperti masjid, mushola atau balai warga. Masyarakat pedesaan pun sangat memegang erat norma-norma keagamaan sehingga apabila ada sesuatu hal yang tidak sesuatu norma maka masyarakat akan dengan agresif menghadapinya, contoh kasusnya adalah hamil diluar nikah. Dalam kasus biasanya masyarakat desa akan mengusirnya dari tempat tinggalnya.
Masyarakat sangat peduli dengan masyarakat sekitar terlebih lagi tetangga, masyarakat desa menganggap tetangga merupakan saudara dekatnya, sehingga bila meminta pertolongan maka tetanggalah yang pertama membantu, tentunya hal ini tidak dapat kita temui dikota. Namun sayangnya masyarakat dalam kehidupan desa kurang menghargai sebuah privasi karena urusan personal mereka adalah urusan masyarakat dan juga dalam menyelesaikan sebuah masalah terkadang masyarakat desa bertindak sangat agresif bahkan dengan kekerasan, seperti membakar rumah.

Perbedaan Antara Kehidupan (Sosial) Kota Dan Desa beberapa diantaranya adalah:
1.      Perbedaan dalam organisasi sosial. Kemungkinan perbedaan ini adalah perbedaan yang terbesar. Perbedaan ini diperlihatkan pada:
a. Keluarga. Di desa ikatan keluarga relatif lebih kuat daripada ikatan keluarga di kota dimana kepentingan individual lebih ditekankan ketimbang kepentingan keluarga. Di desa, ikatan antar keluarga pun lebih besar dan lebih erat daripada di kota. di desa, keakraban dankontrol keluarga lebih tinggi daripada di kota. di kota fungsi keluarga semakin lama semakin menurun daripada di desa.
b. Perkawinan. Di kota ikatan perkawinan karena “cinta” lebih tinggi daripada di desa. Di kota terdapat angka perceraian yang lebih tinggi. Di kota terdapat kebebasan yang lebih untuk mempilih pasangan.
c. Keadaan wanita. secara umum keadaan wanita di desa dianggap lebih rendah daripada laki-laki.
d. Daerah sekitar. Di desa keadaan lingkungan (tetangga) memberi pengaruh yang besar daripada di kota. di kota kadang orang tidak mengenal tetangganya.
e. Rasa ke”kami”an. Rasa kebersamaan di desa terasa lebih tinggi daripada di kota. pengaruh komunitas pada individual di desa lebih tinggi daripada di kota.
f. Perbedaan kelas. Perbedaan kelas di kota lebih ditekankan daripada di desa. Dengan demikian terjadi lebih banyak konflik di kota. perbedaan kelas ini lebih khusus pada perbedaan kelas karena ekonomi.
2.      Perbedaan pada batasan sosial. Kontrol sosial di desa dan di kota yang berbeda antara kota dan desa bahwa di desa etika bersama dan adat istiadat mengkontrol perilaku, sedangkan komunitas di kota tidak melakukan kontrol yang sejauh itu.
3.      Perbedaan dalam hubungan sosial.
a. Hubungan sosial di desa lebih erat dan personal daripada di kota. Gist dan Halbert mengatakan bahwa kota menganjurkan hubungan impersonal daripada hubungan personal.
b. Di desa hubungan antar individu biasanya pula berhubungan dengan kelompoknya, keluarganya dan hubungan dekatnya yang lain. Di kota hubungan ini lebih cenderung berhenti pada kelompok sekundernya saja.
4.      Perbedaan dalam interaksi sosial.
a. Kegiatan interaksi sosial di desa dalam jumlah lebih sedikit daripada di kota. meskipun demikian interaksi di desa terjadi lebih personal daripada di kota.
         b. Di kota terdapat perbedaan divisi pekerja dan spesialisasi lain, sehingga kerjasama antar divisi itu lebih   besar daripada di desa. Sedangkan di desa setiap individu tidak secara khusus masuk dalam suatu spesialisasi tertentu.
         c. Dunia kompetisi di kota lebih sengit daripada di desa.
         d. Konflik yang terjadi di desa biasanya terjadi secara langsung sedangkan di kota terjadi tidak secara langsung.
         e. Jika dibandingkan dengan desa, terdapat unsur toleransi yang lebih tinggi di kota daripada di desa.
         f. Proses asimilasi (penerimaan budaya) di desa terjadi secara lebih lamban daripada di kota. di kota orang dengan berbagai budaya hidup

Source:
-                      http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/18/desa-vs-kota/

Fenomena Kawat Gigi (Behel), demi status sosial atau demi kesehatan??


Tema : Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Derajat

Seiring perkembangan zaman, behel pun kini menjadi sebuah tren yang fenomenal bagi anak muda. Selain untuk merapikan gigi, behel atau kawat gigi ini pun berfungsi sebagai aksesoris yang fashionable serta melambangkan status sosial. Kesan yang ditimbulkan jika seseorang menggunakan kawat gigi ialah trendi dan fashionable. Maka dari itu, tidaklah heran jika banyak anak muda ingin menggunakan behel. Fenomena behel sebagai mode memang tidak bisa dipungkiri telah menjadi trend dan gaya hidup, terlebih di kota-kota besar. Tuntutan gaya hidup membuat masyarakat perkotaan berlomba menjadi bagian dari trend tersebut, fenomena ini menjamur di kalangan anak-anak muda, tujuan nya hanya untuk di akui di dalam lingkungan pergaulan mereka. Fenomena bracket ini makin lama makin menjadi-jadi karena bracket yang awalnya berfungsi untuk memperbaiki susunan gigi sekarang justru cenderung tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Dari berbagai sumber ditemukan informasi bahwa ada dua jenis kepercayaan diri yang ditimbulkan setelah menggunakan behel. Ada sebagian responden yang menjadi percaya diri setelah behelnya terpasang, namun ada pula sebagian responden yang menjadi percaya diri setelah susunan giginya menjadi rapi. Meskipun sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri, kepercayaan diri ini memiliki pengertian yang berbeda. Mereka memiliki kegelisahan terhadap susunan giginya yang tidak rapi sehingga mereka mau menggunakan behel. Dengan susunan gigi yang rapi, tentunya akan membuat gigi menjadi lebih sehat karena lubang dan karang pada gigi akan sulit terbentuk. Namun, ada pula yang menggunakan behel karena takut dianggap tidak gaul, takut dianggap orang miskin, dsb. Kemudian kami menemukan kegelisahan tersebut berubah menjadi hasrat agar mereka diakui dan dapat tampil percaya diri. Selain itu, ada pula yang menggunakan behel hanya untuk memenuhi emotional benefit-nya. Seperti tertarik dengan warna karet yang unik, bentuk karet yang ia sukai, dsb. Lalu ada pula yang menggunakan behel karena kegelisahan dan sekaligus hasrat dalam dirinya. Contohnya adalah ada orang yang memilih untuk menggunakan behel lagi setelah giginya rapi karena ia tidak percaya diri dengan tampilan barunya tanpa behel. Selain itu, dia juga memiliki alasan agar tampil fashionable dengan behel tersebut. Dari kasus ini terlihat bahwa kegelisahan dan keinginan pada anak muda yang menggunakan behel berjalan sekaligus.
Melihat hal ini, para pebisnis pun langsung mengambil kesempatan dengan menawarkan beragam paket behel melalui internet dan bahkan memproduksi jenis behel baru seperti behel fashion dan behel mainan. Banyak para pebisnis yang menawarkan kepada masyarakat untuk menjadi reseller behel. Selain para pebisnis, ahli gigi dan tukang gigi pun juga memanfaatkan momen ini. Mereka pun berlomba-lomba untuk memenuhi hasrat dari konsumen. Sehingga yang terjadi adalah maraknya penjualan behel dengan harga murah secara online (melalui blog, website, ataupun situs jejaring sosial) dan juga maraknya ahli gigi yang menawarkan jasa pemasangan behel dengan harga murah, bahkan ada pula tukang gigi keliling yang memberikan jasa pemasangan behel dengan harga di bawah Rp 500.000,00.
Behel atau bracket dalam dunia kedokteran gigi juga dikenal sebagai kawat gigi adalah alat yang digunakan dalam perawatan ortodontik yang membantu menyelaraskan dan meluruskan gigi dan membantu posisi geligi pada posisi ideal di mana gigi atas dapat menggigit gigi bawah dengan sempurna. Behel  atau  bracket merupakan alat ortodontik cekat yang sering juga dengan peralatan ortodontik lain untuk membantu memperluas langit-langit mulut atau rahang dan sebaliknya membantu dalam membentuk gigi dan rahang. Untuk melakukan perawaan behel diperlukan dana yang tidak sedikit untuk satu kali perawatan berkisar antara 3 Juta – 20 Juta tergantung kasus pada pasien bahkan ada yang menarik bayaran lebih mahal lagi, untuk kontrol biasanya berkisar antara 50rb – 100rb/kunjungan.
Perawatan dengan kawat gigi atau behel (perawatan ortoddontik) yang dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami ilmu ortodontik dapat memperbaiki kesalahan bentuk atau posisi dari rahang. Perbaikan dari susunan gigi dan rahang juga akan mempengaruhi bentuk atau profil wajah dari seseorang secara keseluruhan. Tanpa ilmu yang benar pemakaian kawat gigi bisa membuat wajah anda menjadi aneh. Mereka yang tidak mengerti ilmu ortodontik secara benar (atau hanya mengetahui sepotong-sepotong) hanya akan membuat gigi pasien terlihat rapi namun belum tentu posisi rahang pasien pas untuk menggigit antara gigi atas dan gigi bawah (oklusi). Lebih celaka lagi melakukan pemasangan kawat gigi pada orang yang tidak berpengalaman dan tidak memiliki ilmu yang cukup bisa membuat wajah pasien menjadi lebih aneh dari semestinya.
Seorang tukang gigi (atau istilah lainnya : ahli gigi) di pinggir jalan sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan formal sebagai seorang dokter gigi dan tidak memiliki kualifikasi untuk merawat gigi pasien khususnya melakukan pemasangan kawat gigi atau behel. Apapun alasannya, walau katanya si tukang gigi sudah pernah belajar tentang kawat gigi dan sebagainya tetap saja kualifikasi mereka masih jauh dari seorang dokter gigi spesialis orthodontik maupun dokter gigi umum.
Untuk menghindari penyakit tertular dari satu pasien ke pasien lain atau ke dokter gigi yang bisa saja melalui air liur atau darah si dokter gigi menggunakan barier berupa sarung tangan dan masker yang hanya boleh digunakan sekali. Artinya hanya digunakan untuk 1 (satu) pasien. Alat-alat yang digunakan oleh dokter gigi merupakan alat steril yang setelah digunakan pada 1 (satu) pasien dibersihkan dan dimasukkan ke alat sterilisasi khusus atau langsung dibuang apabila menggunakan alat disposible.
Sekarang tinggal dibayangkan apabila melakukan perawatan kawat gigi pada orang yang tidak memiliki pengetahuan yang lebih dibidang tersebut? Mereka tidak mendapatkan pengetahuan mengenai cara sterilisasi peralatan yang digunakan, tidak memiliki kualifikasi yang lebih untuk merawat gigi yang tidak beraturan. Bisa jadi gigi si pasien bukannya menjadi baik dan sehat namun akan menimbulkan masalah baru yakni resiko terkena penyakit menular seperti HIV, Hepatitis, gigi goyang, rahang sakit saat membuka mulut dan masih banyak lagi akibat buruk yang akan ditimbulkan
Sekarang ini kembali lagi kepada masyarakat untuk mencerna, pasang kawat gigi pada dokter gigi non spesialis saja tidak dianjurkan apalagi memasang kawat gigi pada praktek “tukang gigi” atau “ahli gigi” di pinggir jalan. Sebagian masyarakat yang tidak mengetahui masalah perawatan orthodontik secara umum sudah pasti menganggap remeh masalah ini. Namun tahukan anda pemakaian alat-alat kedokteran gigi yang tidak memenuhi standar kesehatan pada waktu pemasangan behel atau kawat gigi bisa menyebabkan infeksi silang dan membahayakan kesehatan.
Jadi mana yang anda pilih behel untuk melambangkan status sosial atau untuk kesehatan???

Source :         


e-KTP Sudah Saatnya Kah?


Tema: Warganegara dan Negara


e-KTP atau KTP Elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan / pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional.
Penduduk yang telah memiliki e-KTP akan mendapatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK ini akan menjadi identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup. Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya.
Pemalsuan atau penggandaaan e-KTP dikatakan akan sulit terjadi, ini dikarenakan "autentikasi" untuk pengamanan pada e-KTP menggunakan biometrik, jenis yang digunakan adalah sidik jari, retina scan, dan tanda tangan. Ketika terjadi sesuatu hal penduduk yang mencoba membuat e-KTP baru atau palsu akan segera terdeteksi. Karena data setiap penduduk yang telah membuat e-KTP telah terekam didalam database kependudukan nasional, baik itu NIK, sidik jari, retina scan, dan tanda tangan penduduk akan saling terhubung sehingga akan terlihat data sebelumnya. E-KTP nantinya akan terhubung secara online kepada instansi-instansi terkait baik milik pemerintah maupun swasta, ini akan mengurangi resiko penipuan atau pemalsuan data diri. ada beberapa hal yang bias dan tidak relevan antara pernyataan para pejabat/lembaga terkait dengan fakta dilapangan sehubungan dengan diterbitkannya e-KTP secara nasional.
Saat ini terjadi semacam ‘pembodohan’ publik, terkait dengan penerbitan e-KTP di Indonesia. Mengapa bisa diambil kesimpulan seperti itu ? e-KTP hanya berfungsi bila didukung dengan teknologi dan perangkat komputer.  Berarti, bila tidak didukung oleh perangkat Komputer, maka fungsi ‘electronic’ nya akan hilang atau terabaikan  dan menjadi seperti KTP konvensional biasa. E-KTP dan KTP konvensional, sama sama berfungsi sebagai Kartu Pengenal (Identitas). Nah sekarang,  apakah perbedaan antara e-KTP dan Konvensional ?
Ada perbedaan yang paling sisgnificant antara e-KTP dan KTP konvensional adalah :

1. Pada fisik e-KTP terdapat struktur yang terdiri dari sembilan layer yang akan meningkatkan pengamanan dibanding  KTP konvensional.  Ada sebuah  Chip yang ditanam di antara plastik putih dan transparan pada dua layer teratas. Chip ini memiliki antena didalamnya yang akan mengeluarkan  gelombang jika digesek. Gelombang inilah yang akan dikenali oleh alat pendeteksi e-KTP sehingga dapat diketahui apakah KTP tersebut berada di tangan orang yang benar atau tidak.

2. e-KTP mampu menyimpan data secara electronic sehingga data yang telah tersimpan, tidak dapat dimanipulasi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

3. e-KTP tidak dapat berfungsi secara electronic bila tidak dihubungkan dengan ‘electronic devices’  lainnya seperti card reader, software, network, database dlsb.

Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sebuah e-KTP itu asli atau palsu ?
Tentu cara yang paling efektif adalah dengan menggunakan Card Reader, yang mana Card reader dapat mendeteksi e-KTP tsb secara selectronic apakah asli atau bukan. Card reader tentu saja harus terkoneksi dengan data base, agar dapat diakses data yang terkait dengan e-KTP yang bersangkutan.Pertanyaannya adalah bisakah kita mengetahui sebuah e-KTP asli atau bukan bila kita tidak menggunakan Card reader ?
Dimana kita bisa dapatkan Card Reader atau tempat resmi untuk melakukan verifikasi e-KTP ? Semuanya ini belum disusun sistemnya !Nah, disinilah letak kelemahan program e-KTP massal ini. Sebab yang sekarang dilakukan oleh pemerintah sekarang hanya memproduksi secara massal e-KTP sebatas fisik Kartunya saja (artinya hanya sebatas berfungsi sebagai kartu pengenal Identitas diri), sedangkan sarana dan prasarana, fasilitas pendukung, kebijakan pemerintah dan sistem penggunaan e-KTP agar dapat berfungsi secara electronic  tidak dibangun secara komprehensif.Memang harus diakui, dengan eadanya e-KTP, tidak akan ada lagi penduduk Indonesia yang memiliki KTP ganda, tapi bukan berarti e-KTP tidak bisa dipalsu.
Maksudnya begini, fungsi  utama kartu identitas adalah sebagai alat bukti bahwa benar data pemegang KTP tsb sesuai yang tertera pada KTP. Nah, bila kartunya saja sudah dipalsukan, tentu saja data dan foto serta tandatangan sudah dimanipulasi.
Mengapa fisik kartu e-KTP mudah sekali dipalsukan ?
Karena secara fisik,  e-KTP tidak ada bedanya dengan KTP Konvensional, jadi yang tampak adalah kartu plastik biasa. (padahal didalam kartu e-KTP terdapat Chip dan rangkaian electronic namun tidak terlihat). Artinya sama saja dengan KTP Konvensional, dan tentu saja ini bisa dipalsu atau digandakan, ilustrasinya :

1. Kasus pemalsuan Identitas.
Bila anda datang ke Bank, dan akan membuka Rekening, atau menarik  sejumlah dana dari rekening anda, tentu yang pertama diminta petugas bank adalah e-KTP asli anda. Bank berusaha mengamankan seluruh rekening nasabahnya dan hanya mengijinkan pemilik rekening yang berhak menarik dana. Untuk itulah anda harus bisa menunjukkan bukti kepada petugas bank, bahwa anda memang pemilik rekening dan berhak atas penarikan dana dari rekening anda sendiri. Kemudian anda menyerahkan e-KTP anda sebagai bukti identitas diri anda.
Pertanyaannya, bagaimana bank bisa mengetahui e-KTP anda asli atau palsu, bila tidak tersedia card reader dan tidak tersambung dengan Pusat Data ?
Yang bisa dilakukan oleh petugas bank tersebut semata mata hanyalah mencocokkanwajah dan tandatangan anda, apakah sesuai yang tertera di KTP atau tidak. Hanya sebatas itu saja.  Dan Bank hanya memfotocopy KTP anda, lalu menyimpan nya sebagai arsip dan bukti pembukuan bank.
Dalam kasus ini, dimana letak perbedaan e-KTP dan KTP konvensional ? Sama saja bukan ?

2. Arsip yang disimpan berupa foto copy
Masih berkaitan dengan butir 1 diatas, setelah anda pergi meninggalkan bank, yang tertinggal dan tersimpan sebagai arsip bukti identitas anda hanyalah selembar fotocopy e-KTP. Sedangkan  dokumen berupa fotocopy, sangat mudah dipalsu dan dimanipulasi.
Seharusnya, e-KTP digunakan sebagai bukti transaksi ketika kartu anda terdeteksi oleh Card Reader. Jadi arsip yang disimpan berupa data dan informasi, bukanlah selembar kertas hasil fotocopy !
Nah, kembali lagi,  itu semua hanya bisa terjadi bila bank telah dilengkapi dengan Card Reader dan terhubung dengan pusat data. Tapi apa yang sekarang  terjadi adalah, jangankan mengurusi Card Reader, sedangkan proses pembuatan kartunya saja masih bermasalah dan  belum juga selesai ?

Ada hal yang lebih penting lagi adalah, apakah penggelontoran dana untuk membiayai  proyek e-KTP secara nasional senilai Rp. 5, 8 Triliun tersebut adalah efektip dan sesuai dengan tujuannya ? Apakah itu hanya buang buang uang saja, sebab  pada kenyataannya, e-KTP tidak bisa difungsikan secara optimal, artinya hanya sebatas sebagai kartu identitas diri saja meskipun fungsi e-KTP  dapat menjamin bahwa masing masing penduduk hanya memiliki satu kartu saja. Atau itu hanya sekedar ‘bluffing’ agar memberi kesan bahwa negara kita sudah punya sistem administrasi kependudukan yang baik seperti yang dilakukan oleh negara maju lainnya ?
Sementara itu, pihak yang berkepentingan terutama Kemendagri menyatakan bahwa secara bertahap e-KTP akan disempurnakan. Tapi kapan e-KTP bisa doptimalkan fungsinya , terutama fungsi data electronic didalamnya ?  Tidak semudah itu, sebab perlu anggaran yang besar , sistem yang baik dan melibatkan banyak pihak terutama berkaitan dengan fungsi elektronik yang dapat mendukung transaksi  keuangan/bisnis dan kebutuhan lainnya.
Seharusnya  proyek e-KTP secara massal (nasional) harus dilaksanakan secara paket dan komprehensif, maksudnya harus pula disediakan anggaran untuk membangun struktur dan infrastruktur sehingga dapat berfungsi secara masimal. Oleh sebab itu, diperlukan biaya dan alokasi anggaran yang sangat besar. Karena sebab itulah maka tidak semua negara mampu menyelenggarakan proyek e-KTP secara nasional.
Bila  hanya sekedar memproduksi fisik kartu e-KTP  yang berfungsi sebagai kartu identitas diri dan mencegah adanya KTP ganda,  rasa rasanya biaya yang telah dikeluarkan yaitu  Rp. 5,8 Triliun dinilai terlalu besar, artinya tidak sebanding dengan manfaatnya.

Source:


PEMUDA DAN IDENTITASNYA


Tema : Pemuda dan Sosialisasi

 Apakah itu pemuda? Pemuda adalah manusia-manusia yang muda sebagai penerus generasi-generasi sebelumnya. Atau pemuda juga dapat diartikan sebagai golongan orang-orang muda dalam masyarakat dimana mereka adalah penerus generasi sebelum mereka yang tugas para pemuda-pemuda ini adalah melanjutkan perjuangan para pahlawan terdahulu dan mengisinya dengan pembangunan melalui edukasi atau pendidikan saat ini. Pembangunan yang kini telah berlangsung merupakan hasil-hasil ide dan kerja keras pemuda-pemuda kita dan tentunya generasi sebelumnya. Alangkah baiknya, para pemuda-pemuda kita tetap menjaga dan melanjutkan pembangunan.
Para pemuda-pemuda Indonesia umumnya berusia berkisar antara 15-21 tahun. Untuk dapat menjaga dan menlanjutkan pembangunan, pemuda-pemuda Indonesia masih memerlukan edukasi dan pembinaan serta pengembangan untuk menjadi pribadi pemudah kearah yang lebih baik. Dalam  proses kehidupannya, para pemuda Indonesia mengalami sosialisasi baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, institusi, ataupun dalam masyarakat setiap hari.
Sosialisasi menurut adalah suatu proses pembinaan dan pengembangan individu serta penanaman kebiasaan, nilai-nilai, aturan dan norma dari generasi sebelumnya ke generasi setelahnya di dalam suatu kelompok dan masyarakat. Pemuda dimana dalam sosialisasi ini, membawa andil dan pengaruh yang cukup besar dalam membina dan mengembangkan hidup di masyarakat. Proses seperti itulah yang disebut dengan sebutan proses sosialisasi. Proses sosialisasi pada manusia hakikatnya telah terjadi sejak individu itu lahir di dunia dan terus akan berproses sampai dengan akhir hidupnya.
Pemuda melalui proses sosialisasi, akan tumbul cara berpikir kritis dan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan bersosial dalam hidupnya. Dengan proses bersosialisasi, seorang pemuda tahu posisinya dan bagaimana cara bertingkah laku di dalam masyarakat dan adat istiadat lingkungannya. Proses sosialisasi ini dapat menjadikan pemuda lebih dewasa dan dapat membimbing lingkungannya menjadi masyarakat yang beradab. Untuk pemuda sendiri, sosialisasi diartikan sebagai proses yang membantu pemuda bermediakan belajar dan beradaptasi, bagaimana cara mereka berpikir, bagaimana cara mereka bertindak dalam masyarakat, dan bagaimana mereka menjalankan perannya dalam masyarakat, serta bagaimana fungsi mereka sebagai pemuda sendiri di dalam masyarakat.
Teman atau kawan dari seorang pemuda mempunyai pengaruh yang besar dalam menemukan identitas dari sipemuda itu sendiri. Karena jika si pemuda mendapatkan teman yang mempunyai identitas yang buruk otomatis teman si pemuda itu akan melakukan penyimpangan di depan si pemuda yang sedang bingung atau belum menemukan identitasnya, dalam waktu yang singkat si pemuda pencari identitas itu akan mengikuti perilaku dari temannya dengan melakukan penyimpangan seperti temannya. Tetapi semua ini dapat ditanggulangi dengan pemilihan teman untuk si pemuda itu sendiri, terkadang memilih milih teman itu ada baiknya dalam menemukan identitasnya. Para pemuda yang masih bimbang atau belum mendapatkan identitasnya sebaiknya memilih teman yang berprilaku baik atau tidak menyimpang norma norma dan hukum yang ada dimasyarakat.
Ketika si pemuda mendapatkan identitas yang buruk, dapat di perbaiki sebelum perilaku buruknya menjadi pelanggaran norma norma dan hukum. Dengan cara meninggalkan kebiasaan buruknya dan mencoba memulai kebiasaan baik, dalam hal ini teman menjadi pengaruh yang besar pula. Ketika si pemuda mempunyai identitas yang buruk, sebaiknya si pemuda berteman dengan orang orang yang mempunyai perilaku yang baik. Sehingga dapat menjadikan pengaruh untuk si pemuda itu untuk menjadikan identitas buruknya menjadi baik dan tidak melanggar norma norma.
Pemuda juga mempunyai masalah-masalah sebagai generasi muda. Proses sosialisasi yang tidak tepat dan salah membawa pengaruh yang cukup besar. Contohnya saja sosialisasi yang salah tentang pergaulan dan informasi yang salah yang diberikan kepada para pemuda, misalnya pemuda yang tidak aktif dalam melanjutkan kemerdekaan, pemuda yang menyimpang seperti mengkonsumsi narkoba dan lain-lain. Contoh-contoh tadi merupakan masalah-masalah pemuda yang harus segera dihilangkan. Sebagai pengganti masalah tadi, seharusnya para pemuda Indonesia dapat melihat potensi dirinya untuk dapat memgembangkan dirinya sendiri membina masyarakat.
Potensi pemuda-pemuda Indonesia cukup banyak, sebanding dengan jumlah
pemuda-pemuda di Indonesia. Pemuda dalam potensinya harus bisa melanjutkan perjuangan dalam rangka mengisi kemerdekaan Indoensia. Menurut saya pemuda sebagai mahasiswa perguruan tinggi, harus bisa memilah, menyerap, dan menerapkan cara berpikir dan bertingkah laku kritis sebagai pemuda-pemudi Indonesia. Sebagai pemuda-pemudi Indonesia generasi sekarang, hendaknya kita membantu perjuangan generasi sebelumnya untuk melanjutkan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan.

Source :         

Keluarga dan Moral Remaja


Tema: Individu, Keluarga dan Masyarakat

Remaja adalah masa-masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa awal. Pada masa itu banyak perubahan yang terjadi pada diri remaja, mulai dari perubahan fisik, psikologis, dan perkembangan sosial,. Hal ini menjadi masa remaja sering disebut masa “kritis”. Artinya masa remaja menjadi masa yang labil, penuh gejolak; dan cenderung mudah terbawa arus. Selain itu, remaja mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Siapakah saya?pertanyaan seperti sering muncul karena remaja sedang mengalami masa transisi dari anak-anak ke dewasa awal. Bila remaja tidak dapat meyesuaikan, maka ia akan sulit menemukan identitas dirinya. Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri, bila remaja gagal, maka ia akan mengalami kekaburan identitas. Lalu bagaimana proses pencarian identitas remaja? salah satunya dengan mulai berinteraksi dengan kelompok sebaya.
Menurut penelitian, remaja yang bergabung dengan kelompok informal maksudnya di luar sekolah (tim sepakbola, band, pramuka dan sebagainya) akan memunculkan rasa keinginan untuk memiliki dan status social. Bergabungnya remaja pada suatu kelompok akan membuat remaja lebih banyak belajar dari orang lain, bagaiamana bertingkahlaku, bekerjasama dengan orang lain dan memahami antar sesama. Itu beberapa keuntungan didapati remaja ketika bergabung pada suatu kelompok. Namun ada bebarapa dampak negatifnya. Salah satunya adalah nilai-nilai negatif yang dianut kelompok. Ketika remaja bergabung dengan suatu kelompok, maka konsekuensinya remaja harus mengikuti apa yang disepakati kelompoknya. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan penerimaan sosial (social acceptance) pada kelompok. Dengan demikian remaja lebih suka ‘mengadopsi’ nilai-nilai dari peer group daripada orangtua. Kadang-kadang nilai-nilai yang dianut remaja dari kelompoknya bertentangan dengan nilai yang ada di keluarga. Bahkan bisa terjadi konflik antara remaja dengan orangtua. Benar menurut kelompoknya belum tentu benar menurut masyarakat atau keluarga. Di sinilah peran keluarga menjadi penting. Bagaimana orangtua dapat menanamkan nilai-nilai yang baik pada remaja. Selain itu orangtua harus menjalin komunikasi yang positif. Dengan itu, diharapkan nilai-nilai moral yang diajarkan orangtua kepada remaja dapat dipahami dan diterima. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana peran keluarga dalam perkembangan moral remaja? keluarga yang seperti apa yang sukses dalam menyampaikan nilai-nilai moral yang baik?.
Moral adalah hal yang selalu mengacu pada baik buruknya manusia. sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Moral adalah suatu nilai-nilai yang yang berlaku di suatu wilayah tertentu Jadi pengertian moral dapat diartikan sebagai suatu adat istiadat, kebiasaan, peraturan atau tata cara kehidupan dalam suatu masyarakat yang berhubungan dengan baik dan buruknya tingkah laku manusia. Nilai moral yang berkembang di suatu masyarakat tentulah berbeda-beda, susuai dengan yang telah disepakati bersama. Moral bersifat relatif Artinya, nilai moral adalah suatu nilai yang ditetapkan secara kultural maupun subkultural secara tidak pasti.. Dengan demikian setiap orang mempunyai “kebebasan” dalam memahami dan menginternalisasi nilai moral yang berkembang pada suatu masyarakat. Nilai moral yang berkembang di masyarakat dapat saja berubah karena pengaruh budaya dari luar, teknologi maupun ideologi. Hal semacam inilah yang menjadikan seorang reamaja menyimpang dari nilai-nilai moral yang ada.
Perkembangan moral sebenarnya telah berlangsung pada masa kanak-kanak. Namun pada saat remaja akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan kemampuan kognitif dan minat sosialnya. Yang membedakan antara remaja dengan anak kecil, yaitu :
  • Remaja lebih sensitif terhadap pandangan dan harapan masyarakat. Remaja sering mementingkan ‘reputasi’ dirinya. Selain itu remaja lebih dituntut untuk mewujudkan harapan dan tanggungjawab dari lingkungan. Hal tersebut digunakan untuk mewujudkan reputasinya. Yang ujung ada keinginan dalam remaja untuk dapat diterima dan dihargai secara sosial dalam suatu lingkungan.
  • Ideologi. Remaja mulai senang dengan hal-hal yang bersifat filosofi, ideology, aliran-aliran. Mereka terkadang mulai mengadopsi hal tersebut sebagai pandangan, pendapat dan kepercayaan.
Ada dua hal yang bisa mempengaruhi perkembangan moral remaja, yaitu:  
1. Perkembangan kognitif atau kemampuan berpikir, masa remaja masuk pada tahap pascakonvensional. Pada masa ini remaja sudah mampu berpikir secara induksi-deduksi, sudah mampu menghadapi beberapa masalah. Remaja sudah mampu mengkombinasikan dan memecari solusi permasalahan. Perkembangan kognitif pada remaja meliputi kemampuan berpikir secara rasional dan penalaran secara efektif, sehingga remaja secara relatif telah mampu membuat keputusan sendiri. Kemampuan operasional kognitif serta keterampilan perspektif abstrak akan mempengaruhi pencapaian prinsip moralitas (Helwig dalam multahada, 2005).
2. Interaksi sosial. Kematangan moral tidak hanya ditentukan oleh kematangan berpikir saja tetapi perlu didukung oleh kematangan lainnya, salah satunya kematangan sosial. Pada saat remaja, keinginan untuk berinteraksi dengan teman-teman sudah mulai tumbuh. Orentasinya tidak lagi ke dalam (keluarga ) tetapi lebih ke luar keluarga. Dengan berinteraksi dengan teman-teman sebaya, orang dewasa dan masyarakat, maka remaja mulai belajar banyak hal. Seperti perilaku tolong-menolong, bekerjasama, empati, saling memahami dan sebagainya. Seseorang dapat belajar dari cara mengamati perilaku orang lain. Remaja mulai membandingkan dirinya dengan orang lain baik dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. Setelah itu remaja baru bisa memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya.


Peran keluarga dan pembentukan moral

Keluarga merupakan satuan terkecil dari sistem social yang ada di masyarakat. Peran keluarga sangat penting bagi perkembangan remaja. Menurut penelitian Mandara dan Murray (2000) keluarga yang berperan baik dapat meningkatkan harga diri (self-esteem) pada remaja. Tidak hanya hanya itu, keluarga juga berperan dalam hal pendidikan, khusus pendidikan pra sekolah. Pada saat masih kanak-kanak keluarga yang mengajarkan nilai-nilai moral, agama, dan bagaimana seharusnya berperilaku. Peran keluarga sangat banyak, yaitu sosialisasi pendidikan, reproduksi, perlindungan dan keselamatan, kontrol sosial, kebutuhan psikologis, agama dan rekreasi. Kemampuan keluarga dalam proses pembentukan moral remaja dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu kedekatan keluarga (cohesion familiy), adaptasi, dan komunikasi.
Ada hubungan signifikan antara proses sosialisasi dalam kelurga dengan berpikir moral (moral thaought) pada remaja. Ada tiga elemen yang berperan dalam proses perkembangan berpikir moral.
-           Pertama , remaja yang mempunyai hubungan baik atau kedekatan dengan keluarga, akan mempunyai berpikir moral yang baik daripada remaja yang kurang mampu berhubungan baik dengan keluarga. Kedekatan keluarga mempunyai hubungan dengan penilaian moral. Remaja yang menerima kehangatan keluarga cenderung akan mudah dalam menerima nlai-nilai moral dari kelurganya. Kedekatan keluarga dilihat dari keterikatan yang terjadi antar setiap anggota keluarga. Ukurannya dilihat dari keterikatan emosional, batasan, waktu, teman, pengambilan keputusan, minat, dan rekreasi.
-           Kedua, adalah adaptasi.
Remaja yang mengalami proses adapatasi yang baik dalam keluarga akan mempunyai pengaruh signifikan pada perkembangan moral daripada remaja yang tidak mampu berdaptasi di keluarga. Hasil ini membuktikan bahwa proses adaptasi remaja di keluarga mempunyai hubungan dengan berpikir moral (moral thaought ) remaja. Adaptasi keluarga adalah kemampuan sistem keluarga untuk mengubah struktur kekuasaan ( asertivitas, kontrol, dan disiplin), gaya negosiasi, hubungan dengan peraturan dalam merespon situasi dan perkembangan stress.
-           Ketiga adalah komunikasi. Remaja yang mempunyai komunikasi positif dengan keluarga terutama orangtua, akan mempunyai peran yang besar dalam pembentukan berpikir moral (moral thaought) daripada remaja yang mempunyai komunikasi negatif. Kemampuan positif dalam keluarga dapat dilihat dari kemampuan remaja untuk berkomunikasi dengan orangtuanya secara baik dan demokratis sehingga nilai-nilai moral dari orangtua dapat diinternalisasi secara baik oleh remaja.
Komunikasi yang baik akan menciptakan hubungan yang baik pula, dan juga menciptakan saling memahami akan makna atau arti dari pesan yang disampaika. Remaja yang mengalami komunikasi negatif cenderung tidak ingin mengambil nilai-nilai moral dari keluarga, tetapi lebih mengambil nilai-nilai moral dari luar lingkungan keluarga. Agama sangat penting dalam pembentukan moral remaja. Dalam agama diajarkan bagaimana seseorang harus berpiikir, bersikap dan berperilaku dengan orang lain. Seseorang yang memiliki keyakinan kuat terhadap agamanya akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak melanggar dari ajaran agamanya. Dalam proses memberikan nilai-nilai moral yang berasal dari agama, peran keluarga sangat penting. keluarga harus sedini mungkin mengenalkan nilai-nilai moral yang dari agamas, ehingga nanti setelah remaja atau dewasa sudah terbiasakan dengan nilai-nilai moral yang baik.

Kesimpulan

Peran kelaurga dalam mensosialisakan nilai-nilai moral kepada remaja sangat penting. Kemampuan remaja dan orangtua dalam hal adaptasi, kedekatan dan komunikasi sangat dibutuhkan dalam proses penyampaian nilai-nilai moral, sehingga nilai-nilai moral itu akan mempengaruhi cara berpikir moral remaja. Lalu nilai-nilai apa yang di ajarkan orangtua kepada remaja?salah satu sumber moral yang sangat banyak dipakai adalah agama. Salah satu sumber moral yang penting adalah agama. Agama menjadi pedoman bagi orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai baik terhadap anaknya.
Sosialisasi dalam keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan moral pada remaja. Sosialisasi dalam kelaurga dapat dilihat dari kedekatan, adaptasi, dan komunikasi remaja dalam keluarganya. Semakin baik kedekatan, komunikasi, dan adaptasi remaja dalam kelurga, maka nila-nilai moral yang berasal dari dalam keluarga lebih dapat terinternalisasikan secara baik kepada remaja.
Perkembangan moral pada masa remaja tidak hanya ditentukan oleh kematangan berpikir (kognitif), tetapi juga ditentukan oleh kematangan social. Maksudnya kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Keluarga merupakan salah satu lingkungan social yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan moral pada remaja. Keluarga-lah yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap orang lain.. Sekarang tergantung keluarga, bagaimana keluarga dapat mensosialisasikan nilai-nilai moral secara baik kepada anaknya, sehingga anak dapat menerima dan menginternalisasikan pada dirinya.


 Source: