Tema : PRASANGKA,
DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME.
Pada masa
demokrasi sekarang ini, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran mengenai HAM yang
semakin kompleks, baik pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM ringan. Misalnya pada kasus diskriminasi
pendidikan yang dialami anak di Sumut. Berdasarkan data dari Pusat Pendidikan
dan Informasi Hak Anak (KKSP), sepanjang tahun 2011 terdapat 15 kasus
diskriminasi terhadap anak di bidang pendidikan. Kasus-kasus diskriminasi dalam
bidang pendidikan tersebut terutama berkenaan dengan penerimaan siswa baru
maupun akses untuk bersekolah. Di Kota Padang Sidempuan misalnya, ada anak yang
ditolak mendaftar di sekolah menengah kejuruan karena cacat kaki. Pihak sekolah
menyatakan penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota.
Kondisi ini
merupakan pelanggaran pada hak anak dalam pendidikan. Semestinya UUD 1945 dan Konvensi Hak
Anak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga UU Sistem Pendidikan Nasional
menjamin tidak ada diskriminasi dalam pendidikan.
Ironisnya, dalam kasus Sumut diskriminasi dalam bidang
pendidikan tidak saja terjadi terhadap anak-anak cacat, tapi juga terhadap
orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya biaya. Terlebih
untuk mengakses sekolah-sekolah yang mengubah statusnya menjadi Rintisan
Sekolah Berstatus Internasional (RSBI). Tidak hanya itu, kasus diskriminasi
dalam hal pendidikan juga banyak sekali ditemukan di Indonesia. Sebut saja Immi, gadis kecil yang
mendaftar ke SD Don Bosco 2, Pulomas, Jakarta Timur pada bulan Februari lalu.
Sebelumnya diberitakan, Immi ditolak masuk sekolah karena ayahnya yang
seorang penulis terinfeksi HIV/AIDS. Immi tidak terinfeksi HIV seperti ayahnya,
namun ia tetap menerima diskriminasi karena menjadi anak seorang HIV. Immi yang
baru saja diterima di SD Don Bosco Kelapa Gading, tiba-tiba saja ditolak dan
penerimaannya dibatalkan hanya melalui pesan singkat (SMS). Pihak sekolah
beralasan membatalkan keputusan menerima Immi karena beberapa calon orangtua
siswa menolak keberadaan Immi.
Kemudian kasus diskriminasi yang
terjadi di Indonesia
bagian Timur, dilakukan oleh pemerintah sendiri. Misalnya, dalam ujian nasional
setiap tahunnya di Indonesia
bagian Timur mendominasi tingkat kelulusan yang rendah dibanding Indonesia
bagian Barat. Hal ini dikarenakan sangat minimnya sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk para siswa di tempat
tersebut.
Saat ini, banyak dari kita yang tinggal di kota ,sangat di perhatikan sekali dalam bidang
pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Tapi coba kita bayangkan sejenak,
bagaimana dengan kondisi proses belajar mengajar di Indonesia bagian Timur yang sangat
dianaktirikan oleh pemerintah kita. Sebenarnya, potensi anak bangsa Indonesia
sangat besar asal mereka di asah secara baik sehingga kemampuan yang ada pada
mereka bisa terus dikembangkan dan terarah.
Manusia diciptakan oleh Tuhan lebih
sempurna dari makhluk-makhluk lainnya. Namun demikian, bukanlah menjadi masalah
jika ada beberapa diantara mereka yang dilahirkan dengan kondisi cacat atau
lahir secara premature. Di Indonesia, baik orang yang dilahirkan secara normal
maupun cacat memiliki persamaan hak di mata hukum. Hak-hak tersebut tercantum
dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999, salah satunya adalah hak untuk memperoleh
keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. Dalam UU HAM itu juga disebutkan mengenai hak anak, yaitu setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. Dalam UU HAM itu juga disebutkan mengenai hak anak, yaitu setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Pada setiap tahun ajaran baru, dapat
kita saksikan pemandangan menarik; penerimaan siswa baru dari tingkat TK-SLTA,
juga mereka yang berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan
menengah ke atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa
melanjutkan pendidikan. Dengan NEM yang mereka miliki serta dana yang tersedia,
mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.
Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les
privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara
anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami kesulitan.
Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak
mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah
bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit
serta biaya yang mahal.
Kita semua
pasti merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua
kalangan. Orang kecil
terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh
kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup
dengan memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan
tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman
sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban
misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi
sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan
bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur.
Diskriminasi pendidikan yang terjadi
di negeri ini tidak hanya disebabkan oleh penyimpangan dalam pelaksanaan
kebijakan, tetapi juga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak
memihak kepada rakyat kecil. Lebih lanjut, praktik diskriminasi pendidikan
dapat dilihat dari beberapa aspek berikut ini.
·
Pertama, diskriminasi pembangunan
pendidikan antara pedesaan dan perkotaan. Rendahnya fasilitas pendidikan di pedesaan sudah
menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi. Anak-anak yang sekolah di pedesaan
harus ikhlas dengan gedung dan fasilitas yang jauh dari harapan dan tak
memenuhi standar nasional pendidikan.
Jangankan untuk menikmati fasilitas pendidikan modern seperti komputer dan internet, untuk belajar saja terkadang mereka harus kepanasan terkena terik matahari bahkan harus libur tatkala hujan mengguyur. Hal ini berbanding terbalik dengan fasilitas belajar di perkotaan yang serba lengkap dan serba mewah.
Kedua, hadirnya program Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasioanal (SBI) dengan fasilitas lengkap, namun dengan biaya yang cukup tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh semua masyarakat. Pendidikan berstandar nasional dan internasional seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki prestasi cemerlang.
Namun karena biaya yang tak terjangkau, banyak anak berprestasi dari keluarga kurang mampu tak dapat menikmati sekolah bergengsi tersebut. Maka tak heran jika sekolah bergengsi yang diprogramkan pemerintah belum mampu menghasilkan out put yang cerdas dan handal sesuai dengan namanya sekolah berstandar internasional.
Jangankan untuk menikmati fasilitas pendidikan modern seperti komputer dan internet, untuk belajar saja terkadang mereka harus kepanasan terkena terik matahari bahkan harus libur tatkala hujan mengguyur. Hal ini berbanding terbalik dengan fasilitas belajar di perkotaan yang serba lengkap dan serba mewah.
Kedua, hadirnya program Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasioanal (SBI) dengan fasilitas lengkap, namun dengan biaya yang cukup tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh semua masyarakat. Pendidikan berstandar nasional dan internasional seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki prestasi cemerlang.
Namun karena biaya yang tak terjangkau, banyak anak berprestasi dari keluarga kurang mampu tak dapat menikmati sekolah bergengsi tersebut. Maka tak heran jika sekolah bergengsi yang diprogramkan pemerintah belum mampu menghasilkan out put yang cerdas dan handal sesuai dengan namanya sekolah berstandar internasional.
·
Ketiga, diskriminasi antara pendidikan
agama dan umum. Pendidikan
agama baik madrasah maupun pesantren merupakan bagian integral dari pendidikan
nasional yang memiliki tujuan yang sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tetapi sayangnya madrasah dan pondok pesantren terkesan dianaktirikan. Bahkan
di beberapa daerah di kabupaten tidak memiliki madrasah tempat anak negeri ini
mendalami ajaran agamanya sebagai wadah untuk membina akhlak dan budi pekerti
mulia.
·
Keempat,
pendidikan di Indonesia
masih tercemar oleh virus KKN dan masih bersifat pragmatis, sehingga
pendidikan yang layak hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki
segudang materi dan sederet keluarga yang sedang berkuasa. Berdasarkan angka
partisipasi murni nasional masih banyak anak negeri ini yang belum dapat menikmati
pendidikan. Angka partisipasi murni untuk tingkat SD sudah cukup tinggi dengan
angka 94,06 persen untuk laki-laki dan 93,91 persen untuk perempuan. Namun
untuk tingkat SLTP hanya 66,36 persen untuk laki-laki dan 67,62 persen, bahkan
yang lebih memprihatinkan adalah untuk tingkat SLTA hanya 44,98 persen untuk
laki-laki dan 44,51 persen untuk perempuan. Ini berarti lebih dari 50 persen
anak negeri ini belum dapat mengenyam pendidikan tingkat atas/SLTA apalagi
untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin banyak anak yang tak dapat menikmatinya.
·
Kelima, praktik diskriminasi pendidikan
juga terjadi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran selalu berorientasi pada aspek kognitif saja,
sementara aspek afektif dan psikomotorik selalu diabaikan. Pelaksanaan
evaluasi pembelajaran hanya untuk menguji kecerdasan kognitif belaka, sehingga
siswa hanya berusaha mengasah kemampuan kognitifnya saja dan mengabaikan
kecerdasan lainnya. Maka tak heran kalau di negeri ini banyak generasi yang
pintar secara kognitif tapi tak bermoral. Banyak anak negeri yang pandai bicara
tapi tak mampu berbuat. Diskriminasi pendidikan yang terjadi di semua aspek dan
tingkatan akan memberikan dampak negatif terhadap kemajuan pendidikan nasional dan
akan memperburuk citra pendidikan di mata dunia.
Pendidikan yang
tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue
pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera
terwujud. Indikasi ke
arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang
terdidik yang mampu menjadi penggerak.
Masalah diskriminasi pendidikan merupakan cerita lama yang
kurang diperhatikan oleh kita sebagai sesama orang Indonesia . Karena permasalahan ini
merupakan kunci utama dari kualitas dan kuantitas bangsa Indonesia kedepan, untuk bersaing
didunia Internasional. Banyak hal yang dilakukan pemerintah di bidang
pendidikan, terutama masalah diskriminasi pendidikan. Pemerintah mengeluarkan
ketetapan-ketetapan untuk melindungi warga negaranya terhadap tindak
diskriminasi agar tidak terjadi marginalisasi antara kelompok mayoritas dan
kelompok yang dianggap minoritas.
Namun pada kenyataannya, segala
ketetapan yang dibentuk oleh pemerintah tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Masih ada masalah diskriminasi yang terjadi di bagian Indonesia , baik di daerah terpencil maupun di
kota-kota besar seperti di Jakarta .
Hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan perhatian khusus dari pihak yang
berwenang, sehingga oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjadi bebas
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang menentang HAM, baik secara
sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.
Sungguh sangat disayangkan, adanya
iklan ‘Ayo Sekolah’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi
begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya atau
berbagai alasan yang tidak bisa dibenarkan dalam segi hukum. Padahal,
Undang-Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang layak tanpa terkecuali.
Source: